Mengharmoniskan Komunikasi Lintas Nilai | Tebuireng Online

Mengharmoniskan Komunikasi Lintas Nilai | Tebuireng Online


Keberagaman dan nilai kemanusiaan (ilustrasi: mmckalteng)

Di tengah derasnya arus globalisasi, manusia dari berbagai belahan dunia kini berinteraksi tanpa sekat. Dunia yang dulu terasa luas kini seolah hanya sejauh genggaman tangan. Namun, di balik kemudahan komunikasi itu, tersimpan tantangan besar, bagaimana menjaga pemahaman dan keharmonisan di tengah perbedaan budaya, bahasa, dan cara pandang?

Di sinilah pentingnya komunikasi antarbudaya, sebuah seni memahami, menghargai, dan menjembatani perbedaan agar tidak berubah menjadi sumber konflik. Dalam Islam, hal ini bukan semata urusan sosial, melainkan bagian dari pengamalan ajaran agama.

Islam dan Fitrah Keberagaman

Islam memandang perbedaan sebagai bagian dari kehendak Ilahi. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Baca Juga: Islam dan Toleransi: Mampukah Kita Berbeda Tanpa Membenci?

Ayat ini mengandung pesan mendalam bahwa perbedaan adalah sarana untuk saling mengenal, bukan saling menonjolkan diri atau merendahkan yang lain. Ta’aruf menjadi dasar utama komunikasi antar budaya dalam Islam: mengenal, memahami, dan menghormati.

KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim juga menegaskan pentingnya adab dalam setiap interaksi, terutama komunikasi. Beliau mengajarkan bahwa ilmu dan perkataan tidak akan bermanfaat bila tidak diiringi adab. Dalam konteks komunikasi antar budaya, nasihat ini bermakna luas, bahwa setiap kata, sikap, dan ekspresi harus disampaikan dengan kesantunan dan penghormatan terhadap perbedaan.

Teladan Rasulullah dalam Berkomunikasi Lintas Budaya

Rasulullah ﷺ adalah teladan sempurna dalam berkomunikasi dengan berbagai kelompok dan budaya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural. Ada Quraisy, Yahudi, Nasrani, hingga kabilah-kabilah dari luar Jazirah Arab. Masing-masing memiliki tradisi, bahasa, dan kebiasaan yang berbeda.

Baca Juga: Peran Pesantren dalam Membangun Toleransi di Tengah Perbedaan

Namun, Nabi berhasil membangun komunikasi yang harmonis tanpa kehilangan prinsip. Salah satu kisah yang menginspirasi adalah ketika datang utusan dari Najran (Nasrani) ke Madinah. Rasulullah tidak hanya menerima mereka dengan ramah, tetapi bahkan mempersilakan mereka melaksanakan ibadah di Masjid Nabawi. Sebuah simbol toleransi dan penghargaan lintas iman dan budaya yang luar biasa.

Beliau juga menyesuaikan cara berbicara sesuai dengan lawan bicaranya. Kepada para sahabat, beliau menggunakan bahasa kasih dan pengajaran. Kepada para pemimpin suku, beliau berbicara dengan diplomasi dan wibawa. Kepada anak-anak, beliau menundukkan badan dan berbicara sejajar. Semua itu menunjukkan kecerdasan emosional dan kepekaan budaya yang sangat tinggi.

Pesantren dan Tradisi Komunikasi Beradab

Di lingkungan pesantren, komunikasi bukan sekadar pertukaran kata, tetapi juga wadah penyampaian adab dan nilai. Hubungan antara santri dan kiai dibangun di atas prinsip ta’dhim (penghormatan) dan tawadhu’ (kerendahan hati). Santri tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga cara berbicara, mendengar, dan bersikap dengan penuh hormat.

Baca Juga: Perbedaan yang Merangkul

Tradisi “tabarukan” mencari berkah melalui guru dan ilmu, menanamkan kesadaran bahwa komunikasi harus berlandaskan niat yang baik dan hati yang bersih. Ketika santri berbicara lembut kepada kiai, itu bukan sekadar sopan santun, tetapi wujud penghormatan terhadap ilmu dan sumber hikmah.

Nilai-nilai ini sangat relevan dengan komunikasi antar budaya di tingkat global. Di dunia modern yang serba cepat dan kompetitif, pesantren justru mengajarkan untuk menahan diri, mendengarkan lebih dulu, dan berbicara dengan kebijaksanaan. Inilah warisan komunikasi Islami yang sangat berharga.

KH. Hasyim Asy’ari juga menekankan pentingnya akhlaq al-karimah dalam berinteraksi. Beliau pernah berpesan, “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu, tidak akan memberi manfaat.” Artinya, sehebat apapun pengetahuan seseorang tentang budaya lain, tanpa adab dan empati, komunikasi itu akan kehilangan ruhnya.

Tantangan Komunikasi di Era Digital

Kehadiran media sosial dan teknologi membuat manusia dapat berinteraksi lintas budaya tanpa batas waktu dan tempat. Namun, justru di ruang digital inilah sering muncul kesalahpahaman baru. Ungkapan yang dianggap wajar di satu budaya bisa dianggap menyinggung di budaya lain.
Keterbatasan ekspresi teks dan emoji juga kerap menimbulkan tafsir yang berbeda.

Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Manusia Butuh Berkomunikasi

Dalam konteks ini, umat Islam dituntut untuk berhati-hati. Allah Swt. telah mengingatkan:

وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan menimbulkan perselisihan di antara mereka.” (QS. Al-Isra’: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa komunikasi bukan hanya soal isi, tetapi juga etika. Dalam dunia digital, etika ini berarti berpikir sebelum menulis, memastikan kebenaran informasi, dan menghindari ucapan yang bisa menimbulkan fitnah atau perpecahan.

Prinsip-prinsip Komunikasi Antar Budaya dalam Islam

Dari ajaran Rasulullah dan nilai pesantren, terdapat beberapa prinsip yang bisa menjadi pedoman dalam membangun komunikasi lintas budaya:

  1. Niatan yang Ikhlas

Komunikasi dalam Islam dimulai dari niat yang baik — untuk mengenal, bukan untuk menang sendiri.
“Innamal a‘mālu binniyāt” (Segala amal tergantung niatnya).

  1. Adab dan Kesopanan

Menyapa dengan lembut, tidak memotong pembicaraan, serta menghormati lawan bicara adalah bagian dari akhlak Islami yang universal.

  1. Empati dan Kesabaran

Rasulullah pernah bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam konteks komunikasi lintas budaya, kesabaran untuk memahami orang lain adalah bentuk nyata dari keimanan.

  1. Menghargai Perbedaan dan Menghindari Stereotip
    Setiap budaya memiliki logika dan latar belakangnya. Menghormati perbedaan berarti mengakui keunikan ciptaan Allah.
  2. Membangun Jembatan, Bukan Dinding
    Rasulullah mengajarkan bahwa dakwah dan komunikasi yang efektif harus disampaikan dengan hikmah dan mau‘izhah hasanah — penuh kebijaksanaan dan kelembutan.

Dari Pesantren untuk Dunia

Komunikasi antar budaya sejatinya adalah bagian dari dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Pesantren, dengan tradisi keilmuan dan adabnya, memiliki modal besar untuk berkontribusi dalam membangun dialog global yang damai. Santri yang terbiasa berkomunikasi dengan penuh hormat, beradab, dan sabar akan mampu menjadi duta Islam yang membawa citra damai ke berbagai penjuru dunia.

Baca Juga: Toleransi Antar Umat Beragama untuk Persatuan Bangsa

KH. Hasyim Asy’ari pernah menegaskan, “Tujuan pendidikan bukan hanya mencetak orang pandai, tapi membentuk manusia yang beradab.” Kalimat ini juga relevan untuk komunikasi antar budaya, bahwa kemampuan berbicara dan memahami tidak cukup tanpa adab dan hati yang tulus.

Di era ketika dunia sering terpecah oleh perbedaan suku, bangsa, dan pandangan, umat Islam perlu kembali kepada nilai dasar: ta’aruf, tasamuh, dan rahmah. Dengan tiga nilai itu, komunikasi antar budaya bukan hanya mungkin, tetapi juga indah, karena ia menjadi cermin kasih sayang Allah kepada seluruh umat manusia.

“Dari pesantren kita belajar bahwa berbicara itu ibadah, mendengarkan itu adab, dan memahami perbedaan itu bagian dari rahmat. Maka, mari menjembatani dunia dengan komunikasi yang beradab, seperti diajarkan oleh Islam dan diwariskan oleh para ulama.”



Penulis: Nasywa Mitsfalah A.H, Santi PPTQ Al-Muanawiyah.
Editor: Rara Zarary



Wisata

Berita Olahraga

News

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Drama Korea

Resep Masakan

Pendidikan

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *