
Sejatinya manusia tak luput dari yang namanya dosa. Akan tetapi, masih banyak manusia yang tidak tahu cara memperbaiki diri dengan baik. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering terjebak dengan pikiran yang bersifat material, hawa nafsu yang tidak dapat terkontrol, dan terkadang terganggu oleh lingkungan sekitarnya yang dapat mengotori kejernihan hati. Salah satu cara untuk menghilangkan semua itu ialah dengan penyucian jiwa atau tazkiyatun nafs.
Tazkiyah berasal dari kata zaka yang bermakna membersihkan atau memperbaiki. Dalam konteks ini, tazkiyatun nafs berarti proses membersihkan hati dari sifat-sifat buruk seperti riya, hasad, dan kesombongan, serta menggantikannya dengan sifat-sifat mulia seperti keikhlasan, tawakal, dan syukur.
Tazkiyatun nafs, atau penyucian jiwa, merupakan jalan untuk mendidik hati dan kalbu agar senantiasa berada di posisi yang diridhai Allah. Ketika jiwa telah bersih dari noda, hati akan menjadi cermin yang jernih, memantulkan cahaya keimanan dan kebaikan. Sebagaimana riwayat hadis dari dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Bagaimana jadinya jika seseorang terlihat begitu rajin beribadah dan dipandang baik oleh manusia, namun ternyata hubungannya dengan Allah justru buruk? Di hadapan banyak orang ia tampak seperti wali Allah, tetapi ketika sendirian justru menjadi pengikut setan. Fenomena ini menandakan tidak adanya proses tazkiyatun nafs dalam dirinya. Sesungguhnya, penyucian jiwa adalah kunci untuk memastikan ibadah dan amal benar-benar bermakna, bukan sekadar kosong dan tanpa tujuan.
Allah SWT. menjadikan tazkiyatun nafs sebagai salah satu misi utama Rasulullah SAW. Perhatikan kebenaran hal ini dalam do’a Nabi Ibrahim untuk anak cucunya:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah di antara mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan kitab suci dan hikmah (sunah) kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah: 126)
Berikut jawaban terhadap doa dan karunia atas umat ini di dalam firman Allah:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151)
Jelas bahwa tazkiyatun nafs termasuk misi para Rasul, sasaran orang-orang yang bertaqwa, dan menentukan keselamatan atau kecelakaan di sisi Allah. Selain itu, ayat di atas menjelaskan tentang nikmat besar dari Allah SWT berupa diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul di antara manusia, yang bertugas membacakan ayat-ayat Allah, menyucikan jiwa mereka dari kesyirikan dan akhlak buruk, mengajarkan Al-Qur’an (Al-Kitab) dan Sunnah (Al-Hikmah), serta mengajarkan berbagai pengetahuan dunia dan akhirat yang sebelumnya tidak diketahui umat.
Ada tiga fase yang mesti dilalui, yaitu tathahhur, tahaqquq, dan takhalluq. Tahap pertama berarti memfokuskan hati dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Kuncinya adalah dzikir, baik secara lisan, batin, maupun perbuatan. Kepaduan dzikir ini digambarkan dalam surat Ali Imran ayat 191.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Di dalamnya, Allah menyinggung orang-orang yang mengingat-Nya baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Mereka itu menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi.
Tahap kedua dapat diartikan sebagai perwujudan sifat-sifat Allah yang mulia dalam aktivitas seorang muslim. Semboyannya adalah berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan. Misalnya, salah satu sifat Allah adalah ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Maka dari itu, seseorang hendaknya cenderung bersifat pengasih dan penyayang terhadap sesama.
Tahap ketiga adalah membiasakan akhlak-akhlak baik ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah puncak perwujudan disiplin diri, sehingga jiwa cenderung pada kondisi ideal. Sehingga pribadi akan memperoleh dampak positif dari tazkiyatun nafs. Semoga bermanfaat.
Baca Juga: Hati-hati! 4 Hal Ini Bisa Menghalangimu dengan Allah
Penulis: Muzdalivah
Editor: Sutan
Wisata
Berita Olahraga
News
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Teknologi
Seputar Teknologi
Drama Korea
Resep Masakan
Pendidikan
Berita Terbaru
Berita Terbaru
Berita Terbaru