Hari Bahagia Naina | Tebuireng Online

Hari Bahagia Naina | Tebuireng Online


Naina dan tas ransel impiannya (ilustrasi: albi)

Tak terasa waktu berjalan cepat. Matahari mulai condong ke barat, menandakan waktu sore telah tiba. Setelah sholat Asar berjamaah, aku ikut antre mengambil makan di dapur pondok. Nasi hangat dan sayur sederhana kubawa kembali ke kamar. Aku menambahkan telur dadar sisa dari sambangan tadi siang ke dalam piring. Meski sederhana, rasanya istimewa karena mengingatkanku pada pelukan Ibu.

Baca Juga: 

Tas Impian Naina
Tas Ransel Kesayangan

Aku baru saja duduk dan mulai makan ketika pintu kamar terbuka. Salsa masuk sambil membawa piring makan dan plastik hitam besar di tangan kirinya. Aku langsung berpikir, “Oh… palingan baju laundry-nya.”

“Eh, Sal… laundry banyak banget tuh,” kataku sambil menyendok nasi.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Salsa tersenyum aneh. “Hehehe… bukan laundry,” jawabnya dengan nada yang bikin curiga.

Aku mengerutkan dahi. “Lah, terus itu apa?”

Salsa duduk di tempat tidurnya dan meletakkan plastik hitam itu pelan. Matanya melirik ke arahku seperti sedang menyimpan sesuatu. “Hmm… coba tebak,” katanya dengan nada misterius.

Aku berhenti mengunyah. “Tebak? Ya mana aku tahu. Dari bentuknya juga nggak kelihatan.”

“Coba pikir… sesuatu yang nggak bisa dipakai buat tidur, tapi bisa kamu bawa ke mana-mana,” ujarnya sambil menggoyang-goyangkan plastik itu.

Aku semakin bingung. “Apa sih, Sal… jangan ngelantur. Aku lagi laper, sumpah.”

Dia tertawa pelan. “Oke… petunjuk kedua. Warnanya… tidak sama dengan punyamu yang biru, tapi masih bisa cocok sama seragammu.”

Aku menatapnya kosong. “Astaga, Sal… ngomongnya kayak kuis tebak gambar. Ya udah, keluarkan aja kalau mau ngasih lihat.”

Salsa malah semakin misterius. Ia memeluk plastik itu dan berkata pelan, “Nanti… momentumnya harus pas.”

Aku menghela panjang. “Yaelah… aku udah kenyang drama hari ini. Capek mikirnya.”

Aku berdiri sambil membawa gelas kosong. “Aku ambil minum dulu di luar. Kamu kalau mau kasih tahu, kasih tahu aja, jangan muter-muter.”

“Jangan lama-lama yaaa…” teriak Salsa dengan nada menggoda saat aku melangkah keluar kamar.

Aku hanya melambaikan tangan malas. Di luar, udara sore pondok terasa sejuk. Ember besar berisi air minum untuk setiap kamar sudah disiapkan pengurus. Aku menuang air ke gelas, mencoba menenangkan pikiran dari kelakuan aneh Salsa barusan.

“Apa sih maksudnya…,” gumamku sambil menyeruput air dingin.

Aku tidak tahu bahwa plastik hitam itu bukan baju laundry, melainkan sebuah kejutan besar yang akan mengubah perasaanku tentang “tas” hari itu…

Begitu aku kembali ke kamar, suasananya agak berbeda. Lampu kamar sudah menyala karena langit mulai gelap, dan Salsa duduk di atas tempat tidurnya sambil memeluk plastik hitam besar itu seperti sedang menjaga sesuatu yang sangat berharga. Matanya langsung melirik nakal saat aku masuk.

“Lama banget ambil airnya, kayak jalan-jalan sore keliling pondok,” godanya.

Aku meletakkan gelas di meja kecil dekat lemari. “Biasa… ngantri. Lagian kamu juga bikin aku pening dengan gaya ngomongmu tadi,” jawabku sambil duduk kembali ke tempatku.

Salsa tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu menepuk plastik hitam di pangkuannya. “Nai, sini deh.”

Aku memandanginya dengan alis terangkat. “Kenapa?”

“Udah, sini. Duduk di sini,” ujarnya serius, berbeda dari sebelumnya.

Dengan perasaan campur aduk, aku mendekat dan duduk di ujung tempat tidurnya. Salsa memandangku lama, seolah ingin memastikan sesuatu. Lalu ia mendorong plastik hitam itu ke arahku perlahan.

“Buka,” katanya singkat.

Aku mengerutkan dahi. “Loh, serius nih? Apa ini?”

“Buka aja dulu. Jangan banyak tanya,” jawabnya sambil menyeringai kecil.

Dengan hati-hati, aku membuka ikatan plastik itu. Awalnya aku mengira isinya pakaian atau sesuatu untuk keperluan pondok… tapi mataku langsung membesar begitu melihat isinya: sebuah tas baru berwarna hijau pastel, masih terbungkus plastik bening dengan label kecil menggantung di salah satu resletingnya. Warnanya lembut, modelnya sederhana tapi cantik, persis seperti tas-tas yang biasa dibawa teman-teman ke sekolah.

Aku menutup mulut dengan tangan. “S-Sal… ini…”

“Surpriiiseee,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Akhirnya ketebak juga.”

Aku terpaku beberapa detik. “Sal… ini tas baru? Buat siapa?”

Salsa menjawab dengan nada dibuat-buat serius, “Buat kucing tetangga…” lalu tertawa lagi saat melihat ekspresiku yang kebingungan.

“Ya buat kamu lah, Nai!” lanjutnya cepat. “Aku lihat tasmu udah benar-benar berjuang keras bareng kamu. Aku kebetulan kemarin dapat rezeki lebih dari orang tuaku pas sambangan, jadi… aku kepikiran buat kasih kamu sesuatu. Nggak usah mikir macem-macem ya.”

Mataku mulai panas. “Tapi Sal… ini kan mahal… aku..aku nggak enak,” kataku terbata-bata.

Salsa menggeleng cepat. “Nggak usah merasa nggak enak. Teman itu bukan Cuma buat ketawa bareng, tapi juga saling bantu. Lagian, siapa lagi yang pantas dapet tas sebagus ini selain Naina yang selalu sabar dan rajin nabung recehan?” katanya sambil menepuk pundakku pelan.

Aku tak bisa menahan senyum haru. “Salsa… makasih ya. Aku bener-bener nggak nyangka.”

“Udah, jangan nangis di kamar, nanti dikira ada yang putus cinta,” candanya.

Aku tertawa kecil, tapi air mataku tetap menetes pelan. Tas itu kuletakkan di pangkuanku, kuusap perlahan permukaannya. Rasanya seperti mimpi. Bukan sekadar karena akhirnya aku punya tas baru, tapi karena aku punya teman yang tulus.

Malam itu, sebelum tidur, tas hijau pastel itu kugantung rapi di samping lemari. Aku menatapnya lama dengan senyum mengembang. Dalam hati, aku berdoa pelan.

“Ya Allah… terima kasih. Engkau menjawab doa Naina dengan cara yang tak terduga.”

Keesokan paginya, suasana pondok masih sama seperti biasanya: tenang, syahdu, dengan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang menggema dari masjid. Namun, ada yang berbeda dariku. Saat mengenakan seragam dan bersiap berangkat sekolah, aku menggantungkan tas hijau pastel baruku di bahu. Rasanya… seperti ada semangat baru mengalir dalam diriku.

“Wah, Naina tampil beda hari ini,” celetuk salah satu teman sekamarku sambil tersenyum menggoda.

Aku hanya tersipu, membenarkan tali tas sambil memandangi bayangan diriku di kaca kecil. Tas ini bukan sekadar barang baru. Ini hadiah, doa, dan bukti ketulusan persahabatan.

Saat keluar kamar, Salsa sudah menungguku di depan, dengan roti isi di tangannya. “Wah, siapa nih yang kelihatan makin keren?” katanya sambil menaikkan alis.

Aku tertawa kecil. “Ah, kamu bisa aja, Sal.”

Kami berjalan bersama menuju sekolah. Di sepanjang jalan, beberapa teman lain juga memuji tas baruku. Namun yang paling penting bagiku bukan pujian itu, melainkan perasaan percaya diri yang tumbuh dari dalam. Kalau kemarin aku sibuk melamun karena ucapan sederhana Salsa, hari ini justru aku berjalan dengan tegap, penuh rasa syukur.

Di kelas pun, suasana terasa lebih ringan. Aku tak lagi duduk termenung seperti sebelumnya. Setiap kali mataku melirik ke sisi meja tempat tas hijau itu tergantung, aku tersenyum kecil. Salsa yang duduk agak jauh hanya mengangkat jempolnya diam-diam, membuatku tertawa dalam hati.

Sore harinya, setelah semua pelajaran selesai, aku kembali ke pondok dengan perasaan damai. Aku menatap langit jingga yang perlahan berubah keemasan. Dalam hati aku berbisik:

“Ternyata… hal kecil seperti tas bisa membawa arti besar. Tapi yang lebih berharga dari itu adalah teman yang peduli.”

Aku sadar, tak perlu merasa malu atau rendah diri hanya karena belum punya sesuatu seperti orang lain. Setiap orang punya waktunya masing-masing. Dan hari itu, aku belajar satu hal penting dari doa, kesabaran, dan kebaikan teman bisa menjadi jalan datangnya kebahagiaan yang tak disangka-sangka.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary



Wisata

Berita Olahraga

News

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Drama Korea

Resep Masakan

Pendidikan

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *