Doa Duka dan Hadiah Istimewa

Doa Duka dan Hadiah Istimewa


Sebuah ilustrasi seorang perempuan sedang membaca

Ini kisahku. Kisah paling istimewa dalam hidupku, tentang menikah dengan Mas Ilham. Rasanya seperti tinggal di lembaran novel yang pernah kutulis diam-diam semasa mondok dulu.

Ia lembut, sabar, ucapannya sangat menenangkan. Ia begitu bijak dan dewasa dalam menyelesaikan setiap masalah, serta mencintai dengan cara yang tidak banyak bicara, tapi selalu terasa di setiap perbuatannya. Memang seperti itulah persona “branding”nya yang sering disebut “stecu” setelan cuek tapi diam-diam perhatian dan ternyata juga cemburuan. Haha, kalau diingat, memang lucu ya awal perkenalan itu.

Saat kami libur kegiatan, Mas Ilham selalu mengajakku berlibur, meski hanya di sekitar rumah. Kami berdua pun sering menziarahi maqam-maqam ulama besar, baik yang berada di sekitar rumah maupun di luar kota. Dengan gaya sederhana, aku mengenakan abaya, dan ia bersarung seperti yang diimpikan banyak orang. Duduk bersama orang tercinta, mendengarkan playlist lagu-lagu Arab hingga koplo Jawa yang sama-sama kami sukai, membuat hubungan kami terasa begitu romantis. Tangannya selalu menggenggam tanganku erat, sementara jendela mobil dipenuhi pantulan langit senja, seindah kisahku dan Mas Ilham.

Kami tinggal di rumah impianku. Rumah itu dibangun oleh Mas Ilham dengan dalih memenuhi inner child “Ndoro Putri” gelar khayalan masa kecilku yang dulu hanya menjadi angan-angan di bawah bantal saat mondok. Kini, rumah itu berdiri megah di depan mata: putih bersih, dengan jendela kayu besar, tirai linen berwarna hangat, serta pojok teras yang dilengkapi rak kitab, meja, dan kursi rotan tua—tempat kami belajar dan mengajar santri saat diniyah dan tahfidz. Rumah itu berdiri berdampingan dengan Pondok An-Nur, yang alhamdulillah, berkat doa dan keberkahan, terus tumbuh dan berkembang, bahkan kini sudah memiliki yayasan pendidikan sendiri.

Aku tak pernah bertanya bagaimana semua ini bisa begitu sempurna. Tapi mungkin, Allah sedang memelukku lewat perantara suami terbaik, jawaban dari doa-doa yang kupanjatkan setiap sepertiga malam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seperti biasa, setelah jamaah selesai, sambil menunggu Isya, hafalanku masih selalu kusetorkan kepadanya agar tetap terjaga. Aku begitu bahagia memiliki suami yang tak pernah lelah menemaniku membenahi setiap ayat, membantuku menjaga hafalan. Bersama Al-Qur’an dan dirinya, hidup terasa benar-benar indah tiada tara.

Keromantisan itu selalu terjalin, hingga suatu pagi… kabar buruk itu datang.

“Ning, nderek ngapunten. Ini ada kabar buruk dari pondok lama. Katanya Gus Ilham sering nganterin santri pondok sana, Mbak Annisa dan Mbak Aghisna, pergi belanja ke toko dekat pondok. Isu-isu itu jadi obrolan para santri di ndalem At-Tanwir, Ning.”

Membaca pesan itu, tanganku gemetar, wajahku seketika pucat, mataku memanas. Di kepala, terlintas semua memori manis yang mendadak berubah warna dari cerah menjadi gelap gulita.

Sungguh, aku tak mampu bertanya. Tak sanggup membantah. Yang bisa kulakukan saat itu hanya satu—seperti perempuan lainnya: menangis sesenggukan di balik bantal.

Aku pun terbangun dan segera meraih handphone untuk menelepon rumah.

“Mbak, aku pengen pulang ke rumah Umi… aku pengen sendiri, Mbak,” kataku lewat telepon. Suaraku nyaris hilang.

Tak lama kemudian, aku berlari ke arah mobil dan langsung pergi meninggalkan rumah tanpa berpamitan kepada Mas Ilham.

Jarak antara rumahku dan rumah Umi tak begitu jauh. Kini aku sudah sampai di rumah tempat aku dilahirkan. Namun sesampainya di sana, rumah terlihat kosong. Suasana begitu gelap gulita. Hening.

Tiba-tiba, lampu menyala.

Ruangan itu berubah total. Dipenuhi bunga, balon, dan sebuah kaligrafi besar bertuliskan:

“Selamat Ulang Tahun, Istriku. Selamat Anniversary ke-2.”

Di tengah ruangan itu berdiri Mas Ilham, membawa buket mawar besar dan kunci mobil yang dihias pita emas. Di belakangnya, muncul Umi, Abah, Mbak, anak kami, serta… Mbak Annisa dan Mbak Aghisna.

Mataku memanas. Aku tak sanggup membendung air mata. Aku masih kecewa.

“Kamu sengaja?!” tanyaku, nyaris berteriak.

Mas Ilham mendekat.

“Dek, ngapunten sanget, nggeh. Mas tahu kejutan ini jahat, bikin njenengan kecewa dan sakit hati. Tapi Mas pengin njenengan ngerasain satu hal: bahwa njenengan satu-satunya yang bisa bikin Mas panik kalau kamu hilang, dan yang selalu bikin Mas belajar untuk selalu berusaha memenuhi semua hal yang njenengan inginkan. Sekarang, njenengan bahagia, kan, dengan semua ini?”

Aku jatuh terduduk. Tangis yang tadi karena luka, kini berubah menjadi haru dan bahagia. Itulah Mas Ilham, dengan segala kejutan dan effort-nya.

“Jadi, kabar itu… bohong?”

Mas Ilham mengangguk.

“Santri ndalem yang bikin kamu cemburu sampai pulang itu, adiknya teman pondokku. Memang dulu aku sering nganter mereka karena diutus Kiai saat masih di pondok. Dan karena mereka adik temanku, sekalian aku minta tolong buat bantu bikin prank ini. Alhamdulillah berhasil bikin istriku yang manja dan cemburuan ini menangis sejadi-jadinya… karena bahagia.”

Kami semua pun tertawa mendengar ucapan Mas Ilham.

“Jujur… kamu gila, Mas,” ucapku.

“Gila banget, kan?” balasnya sambil tertawa. “Tapi demi kamu, istriku satu-satunya dan tidak ada duanya.”

“Wong di Al-Qur’an sudah jelas Allah berfirman: مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.
Loh, kan sudah jelas to… kalau di hatiku cuma ada kamu satu-satunya, Dek.”

Ucapnya dengan senyum semanis gula. Seperti itulah Mas Ilham, ahli dalam menggombal versi Islami dengan menyisipkan ayat Al-Qur’an dalam ucapannya.

Malam itu bukan hanya tentang kejutan. Tapi tentang kelegaan. Tentang kepercayaan yang makin dalam. Dan tentang satu hal yang telah kutunggu-tunggu sejak dulu.

“Bulan depan kita umroh ya, sama anak-anak. Lalu lanjut ke Turki. Dan habis itu tahu ke mana? Kita akan ke Disneyland! Ingat enggak, dulu kamu cerita cuma bisa lihat kartun Cinderella sambil nyuci piring?”

Tangisku pecah lagi. Aku tak berhenti bersyukur atas setiap hadiah yang Mas Ilham berikan. Semua kisah ini berawal dari luka, namun diberi akhir penuh cinta.

Nyatanya, rumah tangga tak selalu tenang seperti air tanpa gelombang. Tapi akan ada badai yang menerjang. Namun jika dasarnya adalah cinta dan iman, badai sekuat apa pun bisa berubah menjadi pelukan yang mendamaikan.

Mas Ilham bukan hanya suami. Dia adalah sahabat perjalanan hidupku. Tempatku meletakkan segala doa dan harapan baik. Dia mencintai sisi terdalam dari masa kecilku, yang dulu sering menangis karena merasa hidupku selalu lebih rendah dari orang lain.

Kini aku tahu… beginilah rasanya dicintai dengan cara yang luar biasa, berkat kesabaran dan kegigihan dalam memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Ilahi. Dan dengan baiknya semesta, Allah menghadirkan suami sekaligus teman perjalanan hidup… yang kuharapkan, kelak bisa bersamaku kembali, di surga-Nya nanti.



Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary



Wisata

Berita Olahraga

News

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Drama Korea

Resep Masakan

Pendidikan

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *