Tas Ransel Kesayangan | Tebuireng Online

Tas Ransel Kesayangan | Tebuireng Online


Ilustrasi santri putri dan tas kesayangannya (ilustrasi: albi)

Tringggggg…!

Suara lonceng sekolah bergema ke seluruh ruangan. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas, ada yang ke kantin, ada yang ke taman, dan ada juga yang tetap di kelas untuk makan bekal.

Aku masih duduk di kursi, menopang dagu sambil menatap kosong ke papan tulis. Salsa mendekat perlahan, membawa botol minum di tangannya.

“Nai…” panggilnya pelan.

Aku menoleh, agak terkejut. “Eh, Sal… kenapa?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dia menarik kursi kosong di sebelahku lalu duduk. “Aku yang harusnya nanya gitu. Dari tadi kamu kayak nggak di kelas. Mukamu kosong banget, kayak lagi mikirin utang listrik,” katanya berusaha mencairkan suasana.

Aku terkekeh kecil, tapi cepat kembali diam. “Nggak kok… Cuma kepikiran aja.”

“Masalah tas?” tebaknya cepat.

Baca Juga: Tas Impian Naina

Aku terdiam. Tatapan kami bertemu. Dia menarik napas panjang. “Nai, kamu tuh aneh. Cuma gara-gara aku ngomong kayak gitu, kamu jadi ngelamun seharian?”

Aku menggigit bibir, ragu untuk menjawab. “Entahlah… mungkin aku terlalu mikirin. Soalnya aku sadar, semua orang udah punya tas baru. Aku doang yang masih kayak gini. Kadang aku malu sendiri.”

Salsa menatapku lekat-lekat, lalu tersenyum lembut. “Denger ya… punya tas lama itu bukan aib. Kamu tuh bukan nggak mampu, tapi lagi berjuang. Dan aku tahu banget kamu anaknya tangguh. Jangan bikin pikiran kecil kayak gini ganggu semangatmu.”

Aku terdiam cukup lama, merasakan sesuatu hangat di dada. Perkataan Salsa terasa menenangkan.

“Makanya aku perhatiin kamu terus dari tadi,” lanjutnya. “Soalnya aku tahu kamu bukan tipe yang gampang diem kalau lagi ada yang dipikirin.”

Aku menghela napas pelan. “Makasih ya, Sal. Aku Cuma… nggak enak aja.”

“Udah, jangan dipikirin terlalu dalam,” katanya sambil menepuk bahuku ringan. “Ayo, kita ke kantin. Siapa tahu ada donat sisa satu, kita rebutan.”

Aku tertawa kecil, akhirnya bangkit dari kursi. Meski masalahnya belum selesai, hatiku terasa sedikit lebih ringan. Setidaknya, aku tidak sendirian.

Setelah bel pulang berbunyi, suasana sekolah langsung berubah riuh. Para santri berbaris rapi menuju gerbang pondok, sebagian bercanda sambil mengayunkan tasnya, sebagian lagi berjalan cepat ingin segera sampai ke asrama. Aku dan Salsa berjalan beriringan sambil mengobrol ringan tentang pelajaran hari ini. Matahari siang terasa cukup terik, tapi angin yang berhembus dari pepohonan di sepanjang jalan membuat perjalanan tak terlalu melelahkan.

Setibanya di pondok, aku langsung menaruh tas di dalam lemari, mengganti baju, lalu ikut rutinitas sore seperti biasa: bersih-bersih kamar, piket halaman, lalu mengaji sore menjelang Magrib. Hari-hariku di pondok selalu dipenuhi kegiatan, sehingga pikiran tentang ucapan Salsa tadi pagi perlahan mulai menguap dari kepalaku. Apalagi besok adalah hari Jumat, hari yang selalu kami tunggu-tunggu.

****

Besok adalah hari sambangan  hari ketika orang tua atau wali santri diizinkan datang ke pondok untuk menjenguk anaknya. Biasanya suasana pondok di hari sambangan jauh lebih ramai dan hangat. Ada yang datang membawa bekal, ada yang membawakan barang-barang keperluan, bahkan ada juga yang datang hanya untuk sekadar melepas rindu.

Pagi itu, seperti biasa, aku dan teman-teman berdiri di halaman depan pondok. Kami saling melambai ketika melihat orang tua mulai berdatangan. Dari kejauhan, kulihat Ayah dan Ibu datang dengan sepeda motor butut kami. Helm Ayah miring sedikit ke samping seperti biasa, dan Ibu tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Rasanya seperti angin segar menerpa dadaku.

“Nai! Itu kayaknya orang tuamu deh!” seru Salsa dari sampingku.

Aku langsung berlari kecil menghampiri mereka. Begitu sampai, Ibu segera memelukku erat. “Naina… sehat, Nak?” suaranya lembut seperti biasa, membuatku merasa hangat.

“Alhamdulillah, Bu. Sehat kok,” jawabku dengan senyum lebar.

Ayah mengelus kepalaku pelan. “Pinter terus ya di pondok,” katanya singkat namun penuh makna.

Ibu lalu membuka bungkusan kertas nasi yang dibawanya dari rumah. “Ini Ibu bawain lauk kesukaanmu. Mie goreng sama telur dadar. Tadi pagi Ibu bangun lebih awal biar bisa masak ini,” katanya sambil menyerahkan bungkusan hangat itu ke tanganku.

Mataku berbinar. “Ibu… ini favoritku banget!” ucapku penuh semangat. Aku duduk di bawah pohon mangga depan pondok, bersama Ibu dan Ayah, menikmati bekal sederhana itu. Rasanya jauh lebih enak daripada makanan kantin mana pun.

Sesekali kami bercanda ringan, bercerita tentang adik-adik di rumah, dan tentang kegiatan pondokku. Saat itu, semua pikiran tentang tas lusuhku benar-benar terlupakan. Yang ada hanya rasa bahagia, hangat, dan penuh syukur bisa bertemu mereka walau sebentar.

Melihat senyum Ibu dan Ayah, aku jadi semakin semangat menjalani hari-hari di pondok. Meski mereka datang dengan motor sederhana dan bekal nasi bungkus, bagiku itu adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Tak terasa, waktu sambangan sudah berakhir. Pengurus pondok mulai memberi pengumuman agar para wali santri bersiap-siap pulang. Aku memeluk Ibu dan Ayah erat-erat, mencium tangan mereka sebelum akhirnya melepas kepergian mereka dengan senyum, meski dalam hati ada sedikit rasa berat. Sepeda motor tua mereka perlahan menjauh dari gerbang pondok, meninggalkan jejak debu di jalanan.

Aku kembali ke kamar dengan membawa bungkusan nasi mie goreng dan telur dadar yang tadi belum sempat kuhabiskan. Bau harumnya masih tercium kuat, membuat perutku terasa hangat. Sesampainya di kamar, aku langsung menggantungkan mukena, merapikan tempat tidur, lalu membersihkan diri sebelum waktu Dzuhur tiba. Suasana pondok perlahan kembali tenang. Beberapa santri ada yang menulis di buku catatan, sebagian lagi duduk santai sambil bercerita tentang sambangan mereka masing-masing.

Adzan Dzuhur berkumandang. Kami bergegas ke masjid untuk shalat berjamaah. Suara takbir dan bacaan imam mengalun syahdu, membuat hati terasa damai. Setelah salam terakhir, aku duduk sejenak sambil berdoa dalam hati, memohon agar Allah selalu memberi kekuatan dan kemudahan dalam setiap langkahku menuntut ilmu.

Karena hari ini hari Jumat, setelah Dzuhur kami diberi waktu istirahat cukup panjang. Sebagian santri tidur siang, ada juga yang membaca buku atau menulis surat untuk keluarga. Aku memilih sesuatu yang berbeda hari itu yakni membuka celenganku.

Aku duduk di pojokan kamar, mengambil kaleng kecil berwarna merah muda dari dalam lemari. Kaleng itu bukan celengan mewah hanya bekas kaleng biskuit yang kututup rapat dengan lakban dan kutulis kecil di atasnya: “Tabungan Naina”. Di dalamnya, selama berbulan-bulan, aku menabung uang saku sisa jajan.

Dengan hati-hati, aku membuka lakban yang menempel di tutup kaleng. Suara koin dan uang receh bergemerincing ketika kucondongkan sedikit. Aku mulai menghitung satu per satu: koin seratus, dua ratus, lima ratus, bahkan ada beberapa lembar uang seribuan yang kuselipkan sejak lama.

“Lima ribu… enam ribu… tujuh ribu… delapan ribu…,” aku menghitung pelan. Jumlahnya belum banyak, tapi melihat tumpukan kecil itu tumbuh sedikit demi sedikit membuat hatiku berdebar.

“Ya… meskipun receh,” gumamku sambil tersenyum tipis. “Tapi semoga bisa untuk beli tas, cepat atau lambat.”

Aku menatap kaleng itu lama. Entah kenapa, hari ini aku merasakan semangat yang berbeda. Ada keinginan kuat dalam hati untuk benar-benar mewujudkan keinginan membeli tas baru bukan karena ingin pamer, tapi karena aku ingin hasil dari jerih payahku sendiri.

Aku menutup kembali kaleng itu rapat-rapat dan menyimpannya di sudut lemari. Matahari siang mulai condong ke barat, dan suara santri yang terbangun dari tidur siang mulai terdengar. Aku menarik napas panjang, lalu tersenyum kecil. Dalam hati aku bertekad, tabungan kecil ini akan terus aku isi, sedikit demi sedikit, hingga suatu hari nanti… aku bisa membawa pulang tas baruku sendiri.

Setelah menghitung semua receh dan uang kertas kecil yang kupunya, aku menuliskannya di kertas kecil agar tak lupa.

“Empat puluh lima ribu…” gumamku pelan.

“Kalau mau beli tas kayak punyanya Salsa, aku harus nabung dua kali lipat lagi.”

Aku tersenyum kecil meski dalam hati ada sedikit rasa khawatir. Tapi kemudian aku menatap langit-langit kamar dan berbisik lirih, “Ya semoga Tuhan dengar doa Naina… pelan-pelan aja, yang penting usaha.”

Bersambung…



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary



Wisata

Berita Olahraga

News

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Drama Korea

Resep Masakan

Pendidikan

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *