Pojok Baca Pelita Desa | Tebuireng Online

Pojok Baca Pelita Desa | Tebuireng Online


Seorang perempuan yang membaca (ilustrasi: rara)

Udara lembab merasuk kalbu kala Nafa membuka jendela kamarnya yang sempit pagi itu. Tak pernah bosan ia memandang hamparan lereng-lereng hijau berlapis kabut yang menggulung perlahan, seolah bumi baru saja bangun dari mimpi panjangnya. Terdengar suara ayam dan lonceng sapi bersahutan seperti orkestra khas yang mengiringi awal hari di desa Harjosari. Namun, bukan itu yang Nafa tunggu.

Nafa gadis remaja dengan sejuta mimpinya, Setelah sekian lama ia berjuang dan menanti, hari ini merupakan hari paling Istimewa bagi Nafa, Setelah ia berhasil menjuarai berbagai lomba kepenulisan, dan rutin memberi sumbangsih kepada tim jurnalis, ide dan inovasinya untuk meningkatkan minat baca di desanya, tim Radar Kota mewujudkan gagasannya untuk membantu membuatkan rumah baca di desanya yang telah lama ia impikan.

Dengan semangat membuncah, Nafa melangkah menuju sekolah, memeluk map yang berisi kumpulan karya tulis yang akan dikirimkan ke Tim Radar Kota untuk diliput di koran, setiap bulannya. Prestasi Nafa dan karya-karya nya selalu menginspirasi teman-temanya. Meski di lingkungan nya tidak selalu supportive, dikarenakan minimnya literasi dan wawasan yang terkadang lingkungan itu toxic. Nafa memiliki Impian meningkatkan literasi di sekolah nya, dan di desa nya. Hingga tim Radar Kota sekarang mewujudkan gagasannya. Hal itu membuat semua orang di sekitarnya bangga melihatnya.

Setibanya di kelas, Bu Wiwik, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang kini mengampu kelas 3 SMP, Duduk di depan layar laptop satu-satunya di sekolah yang baru selesai diservis oleh teknisi kota.

“Pekan depan, ada perlombaan Gagasan/Proyek pendidikan di Balai Kota Surabaya.. Perlombaan ini bertema pendidikan,” ujar Bu Wiwik, dengan suara menggelegar nan bersemangat, “Siapa yang mau ikut?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Teman-teman Nafa hanya saling menatap. Beberapa tertawa kecil. “Ah, buat apa ikut? Pasti yang menang anak kota, ini kan sulit.” Gumam salah satu teman Nafa dari belakang. Nafa terdiam, tangannya meremas map di pangkuannya. Ia tahu teman-teman nya sangat mudah sekali untuk menyerah. Nafa mengingat pesan ibunya “Never try, we will never know” membuatnya menantang sikap teman-teman nya yang mudah menyerah. Mengingat ia belum pernah mengikuti lomba selain lomba kepenulisan.

“Aku harus berani mengambil keputusan, kata ibu hidup ini pilihan, aku harus memilih untuk bersantai dan tidak akan menghasilkan apapun, ataukah aku harus memilih untuk bersusah- susah dahulu agar aku menjadi orang yang berhasil dan bermanfaat di suatu hari. Ini Langkah awal, aku harus berani.” Gumamnya dalam hati. Tibanya Nafa mengangkat tangannya.

“Saya mau ikut lomba ini Bu Wik…” ucapnya pelan. Bu Wiwik tersenyum, lega.

Seminggu penuh, Nafa disibukkan dengan mempersiapkan proyek, ia berangkat ke sekolah lebih pagi dari hari-hari biasanya, dan pulang lebih sore. Ia dibantu Bu Wiwik belajar memakai laptop. Teman-temannya mulai memperhatikannya, beberapa temannya bertanya, “Emang kamu yakin bisa?”

Nafa tersenyum tipis, menatap mata temannya. “Kalau bukan kita yang yakin dengan mimpi kita, siapa lagi?” suaranya tenang tapi mantap, menyiratkan keyakinan yang tak mudah goyah.

Kala itu Bu Wiwik mendengar seluruh percakapan Nafa dan teman-teman nya, Bu Wiwik sungguh tak menyangka teman-teman nya bakal bersikap seperti itu. Bu Wiwik menyahut percakapan mereka “Selagi ada usaha, pasti bisa. Kalian jangan pernah mematahkan usaha teman kalian untuk berproses, menang kalah itu suatu hal yang biasa.” ucap Bu Wiwik dengan tegas.

Teman-temanya hanya terdiam mendengar jawaban Bu Wiwik, mereka merasa apa yang dibicarakan Bu Wiwik memang benar. Selama Nafa di kelas ia membahas proyeknya bersama Bu Wiwik, ia memiliki gagasan untuk menerbitkan karya-karya nya dalam bentuk buku untuk dibagikan anak di desa-desa terpencil namun ekonomi yang tak banyak membuat Nafa harus berjuang untuk mencapai mimpinya menerbitkan buku,, untuk meningkatkan literasi masyarakat. Selain itu setelah rumah baca yang telah diberikan tim redaksi telah siap digunakan, ia mengadakan kegiatan “pojok baca” kegiatan berdiskusi santai untuk mengenalkan literasi.

Setibanya beberapa orang dari balai kota pusat telah tiba. Sebelum tiba, Kami sibukkan membersihkan ruang kelas, papan tulis dicat ulang. Tamu tamu dari dinas Pendidikan datang membawa map-map tebal dan clipboard. Murid-murid duduk rapi, kecuali hanya Nafa yang berdiri gugup di depan, memiliki baju putih yang warnanya sudah agak kusam.

Nafa berdiri di atas panggung dengan nafas bergetar, ia menggenggam mikrofon seperti memegang harapan penuh. Tangannya gemetar saat membuka map, menampilkan gambar-gambar rancangan proyek sederhana yang penuh warna. Kini saatnya Nafa untuk menampilkan rencana proyeknya

“Selamat pagi semua… Perkenalkan, nama saya Nafa Olivia, Saya seorang siswa SMP Tirta Persada, bukan dari sekolah yang memiliki gedung tinggi dengan pendingin ruangan maupun bangku mewah. Tempat yang tidak membuat orang takut datang. Tempat yang tidak membuat anak-anak malu hanya karena seragamnya lusuh, atau karena mereka tidak bisa membeli buku.”

Ia melanjutkan, di sini saya akan mempresentasikan proyek yang akan saya lakukan yaitu, menerbitkan karya tulisan saya ke dalam bentuk buku untuk dibagikan di desa-desa terpencil, untuk menunjang belajar mereka, selain itu untuk meningkatkan literasi. Dan di desa kita telah berdiri rumah baca yang telah diberikan tim Redaksi Kota telah siap digunakan, kita akan mengadakan kegiatan “pojok baca” kegiatan berdiskusi santai setiap pekannya untuk mengenalkan literasi, dimentori Bu Wiwik.

Siapapun bisa mengikuti kegiatan ini, Tak ada pintu yang harus diketuk, tak ada gerbang yang harus dibuka dengan izin. Semua anak boleh duduk sejajar, tak ada yang lebih pintar, lebih kaya, maupun lebih pantas. Yang ada hanyalah mereka kita yang mau belajar, yang tidak takut bermimpi meski dunia pernah berkata “tidak mungkin”. Mata Nafa mengisyaratkan seorang yang gigih untuk menggapai mimpinya.

****

Beberapa minggu telah berlalu. Tak ada kabar soal lomba, tapi suatu pagi, kepala sekolah datang membawa surat resmi. Kepala sekolah segera memanggil Nafa untuk memberikan informasi terkait lomba proyeknya. “Nafa, Akhirnya kamu menjadi juara atas lomba proyek ini dan kamu mendapat pendanaan untuk menerbitkan buku,” ujar kepala sekolah dengan bangga.

Nafa menatap kepala sekolah dan Bu Wiwik dengan haru, mimpinya untuk menerbitkan buku akan segera terwujud. “Terima kasih banyak bapak dan Bu Wiwik sudah membimbing saya sejauh ini, secepatnya saya akan menerbitkan buku saya, dan dapat membantu teman-teman saya yang kesusahan mendapat tunjangan belajar, seperti halnya buku. Semoga semua proyek ini berjalan lancar dan dapat bermanfaat untuk banyak orang.” Mimpi yang semula hanya ada di atas kertas, kini mulai mencuri perhatian dunia nyata.

2 Tahun Setelahnya..

Pagi menyapa pelan di lereng gunung. Kabut tipis menggantung di antara batang- batang pinus, seperti selimut lembut yang enggan terangkat. Suara ayam bersahut-sahutan dari kandang-kandang bambu, bersaing dengan gemericik sungai kecil yang mengalir tak jauh dari pematang sawah.

Di teras rumah kayu yang sederhana, seorang gadis SMA kelas akhir itu duduk bersila. Di pangkuannya, sebuah buku lusuh terbuka, sembari meminum teh hangat buatannya. Pekan ini, Jadwal Nafa berkunjung ke rumah baca miliknya untuk melakukan diskusi bersama, kegiatan yang sudah 2 tahun berturut-turut ia lakukan, kini semakin banyak peminatnya, tak hanya anak-anak, namun berbagai kalangan usia. Kegiatan ini juga tak hanya dilakukan ketika hari libur saja, namun kegiatan ini diadakan setiap hari. Kini desa nya mendapat penghargaan menjadi pelopor kampung literasi dari bupati.

Karya Tulisan yang sempat ia terbitkan untuk menjadi buku, semakin banyak peminatnya. Dan Nafa semakin giat untuk menulis berbagai genre. Kini ia menulis sebuah novel ketiga yang akan ia persembahkan untuk teman-teman diskusinya di rumah baca. Ia merasa sangat bahagia, ia merasa apa yang dia usahakan sejak SMP berbuah manis, dan menjadi kebanggaan tersendiri baginya.

Kini, setiap pagi di lereng gunung itu, bukan hanya embun yang menyapa dedaunan, tapi juga semangat seorang gadis muda yang tak pernah menyerah pada mimpinya. Nafa telah membuktikan, bahwa tekad yang kuat mampu mengubah dunia.



Penulis: Nawala, Mahasiswi Universitas Negeri Malang
Editor: Rara Zarary



Wisata

Berita Olahraga

News

Berita Terkini

Berita Terbaru

Berita Teknologi

Seputar Teknologi

Drama Korea

Resep Masakan

Pendidikan

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Berita Terbaru

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *